Selasa, 13 Maret 2012

Penggambaran Seorang Kakek

Suatu hari aku baru saja selesai kuliah sambil menggandong tas berwarna pink tua. Dengan memakai baju dan kerudung yang berwarna hitam juga celana jeans dan sepatu berwarna biru, aku menuju ke sebuah tempat untuk berkumpul bersama teman-temanku. Sore itu sepertinya akan turun hujan. Gunung pun tak terlihat rupanya. Putih tak berbentuk. Awan-awan mendung menyelimuti langit yang cerah saat itu. Satu persatu air menetes dari langit hingga tak terhitung jumlahnya.

Tiba-tiba terdengar suara telepon bernada dering lagu barat. Aku pun sontak langsung mengangkatnya. Suara kecil nan merdu begitu yang ku dengar. Lama kelamaan, suara wanita itu menjadi isakan tangis. Perlahan-lahan wanita itu mencoba mengungkapkan beberapa kata sambil terbata-bata. Dia memberitahuku bahwa kakekku sudah mendekati ajalnya.

Aku bergegas pulang, membuka payung yang hampir rusak itu dan langsung menaiki kendaraan umum yang berwarna hijau dan merah. Setibanya di rumah kakek, aku melihat dia sedang terbaring lemah di kasur yang sudah termakan usia itu. Debu bertebaran dimana-mana. Karena saat itu paman sedang membereskan seluruh isi kamar kakek.

Aku duduk disamping kakek, dia menatapku dengan pandangan kosong. Sepertinya dia sudah lupa akan  nama cucunya ini. Kata paman, kakekku punya sesuatu dalam tubuhnya. Sehingga saat aku datang, dia sedang diobati dari jauh. Matanya melirik kepadaku, seakan berbicara padaku dan meminta tolong padaku. Tangan dan sekujur tubuhnya sangat dingin. Kulit keriputnya sudah tidak bisa lagi melindungi daging dan tulangnya karena sudah sangat tipis. Rambutnya sudah manjadi uban, tidak ada yang hitam satupun. Jari-jarinya sudah peot. Giginya habis dimakan usianya yang genap 88 tahun. Tubuhnya yang kurus itu memakai baju kemeja dan celana olahraga yang sudah berbulan-bulan tidak diganti.  Aku dan sepupuku yang berada disampingnya tidak lupa untuk mendoakan dia. Kalau bisa, dia harus sembuh. Tapi sepertinya, beliau sudah tidak tahan lagi dengan penderitaannya.

Saat kami mendoakannya, tiba-tiba beliau berontak. Tangannya berusaha menepis sesuatu yang berada di hadapannya yang tak terlihat oleh  kami. Kakinya mengejang. Matanya melotot. Mulutnya komat-kamit. Suasana pun berubah menjadi sangat tegang. Ditambah hujan yang rintik-rintik, membuat merinding. Lalu, pamanku membantu beliau mengucapkan dua kalimat syahadat dan beberapa detik kemudian berhembuslah nafas terakhirnya sambil mengeluarkan air mata terakhir dari matanya.

1 komentar:

Komentar dan saran Anda sangat berarti.. :)