1. PENGERTIAN
SEMIOTIKA
Semiotika
adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda alat
perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di
tengah-tengah manusia bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah
Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memakai hal-hal (thinks). Memakai (to sinify) dalam hal ini tidak
dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai
berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana
objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda (Barthes, 1988 : 17; kurniawan, 2001 : 53).
2. SEMIOTIKA
KOMUNIKASI
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai
sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya
berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai
tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain
sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.
Komunikasi bukan hanya sebagai proses,
melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna (the generation of meaning).
Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut
memahami maksud pesan kita, kurang lebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat
terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata).
Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk
dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam
pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita
menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan
orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain
tersebut.
Semiotika yang merupakan bidang studi
tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi).
Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yaitu :
·
tanda,
·
acuan
tanda, dan
·
pengguna
tanda.
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat
fisik, bisa dipersepsi indra kita. Tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu
sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut
tanda.
3.
POKOK DAN TOKOH SEMIOTIKA
A. Pragmatism
Charles Sanders Pierce
Pierce terkenal karena teori
tandanya.Didalam lingkup semiotika, pierce seringkali mengulang-ulang bahwa
secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Perumusan yang
terlalu sederhana ini menyalahi kenyataan tentang adanya suatu fungsi tanda.
Contoh, tanda A menunjukkan suatu fakta (atau objek B), kepada penafsirnya
yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda tidak pernah berubah suatu entitas yang
sendirian, tetapi memiliki ketiga aspek tersebut.
Bagi pierce, tanda adalah “something
wich stands to somebody for something in some respect or capacity”. Pierce
membagi tanda menjadi sepuluh jenis :
·
Qualisign, yaitu kualitas terjauh yang dimiliki
tanda
·
Iconic sinsign, yaitu tanda yang memperlihatkan
kemiripan
·
Rhematic indexical sinsign, yaitu tanda berdasarkan pengalaman
langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya
·
Dicent sinsign, yaitu tanda memberikan informasi
tentang sesuatu
·
Iconic legisign, yaitu tanda yang menginformasikan
norma atau hukum
·
Rhematic indexical legisign, yaitu tanda yang mengacu kepada
objek tertentu
·
Dicent indexial legisign, yaitu tanda yang bermakna informasi
dan menunjuk subjek informasi
·
Rhematic symbol atau symbolic, yaitu tanda yang dihubungkan dengan
objek melalui asosiasi ide umum
·
Dicent symbol atau symbolic, yaitu tanda yang langsung
menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak
·
Argument, yaitu tanda yang merupakan inferens
seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu
B. Teori Tanda
Ferdinand De Saussure
Pokok dari
teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu
sistem tanda dan setiap tanda tersusun dari dua bagian, yaitu signifier dan
signified. Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign).
Saussure
menggunakan pendekatan anti-historis yang melihat bahasa sebagai sistem yang
utuh dan harmonis secara internal (language). Ia mengusulkan teori bahasa
yang disebut “strukturalisme”. Sedikitnya ada lima pandangan dari Saussure yang
dikemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yaitu
pandangan tentang :
·
Signifier (penanda) dan signified (petanda)
Tanda adalah
kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda
(siginified). Dengan kata lain, ‘petanda’ adalah bunyi yang bermakna atau
coretan yang bermakna. Jadi ‘penanda’ adalah aspek material dari bahasa, apa
yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca.
·
Form (bentuk) dan content (isi)
Istilah form
(bentuk) dan content (isi) ini diistilahkan dengan expression dan content,
sesuatu yang berwujud bunyi dan yang lain berwujud ide.
·
Languange (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran)
Dalam
pengertian umum, “langue” adalah abstarksi dan artikulasi bahasa pada
tingkat sosial budaya, sedangkan “parole” merupakan expresi bahasa pada
tingkat individu.
·
Synchronic (sinkronik) dan diachcronic (diakronik)
Kedua
istilah ini berasal dari bahasa yunani khronos (waktu) dan dua awalan syn-
dan dia- masing-masing berarti “bersama” dan “melalui”.
Dan yang
dimaksud sinkronis sebuah bahasa adalah deskripsi tentang “ keadaan tertentu
bahasa tersebut (pada suatu masa). Jadi, sinkronis mempelajari bahasa tanpa
mempersoalkan urutan waktu. Sedangkan yang dimaksud diakronis adalah deskripsi
tentang perkembangan sejarah (melalui waktu).
·
Syntagmatic dan associative
Hubungan
keduanya dapat dinyatakan terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi
maupun kata-kata sebagai konsep.
C. Linguistic
Structural Roman Jacobs
Berbicara
mengenai pandangan Jacobson, dapat dikemukakan bahwa bagi dia, bahasa itu
memiliki enam macam fungsi (sudaryanto, 1990:12), yaitu :
1. Fungsi
referensial (pengacu pesan).
2. Fungsi
emotif (pengungkap keadaan pembicara).
3. Fungsi
konotatif (pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera).
4.
APLIKASI SEMIOTIKA KOMUNIKASI
A. MEDIA
Mempelajari media adalah mempelajari makna dari mana
asalnya, seperti apa, seberapa jauh tujuannya, bagaimanakah ia memasuki materi
media, dan bagaimana ia berkaitan dengan pemikiran kita sendiri.
Dalam konteks media massa, khusunya media cetak kajian
semiotika adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan.
Untuk teknik - teknik analisnya sendiri, secara garis
besar yang diterapkan, yaitu:
1.
Teknik
kuantitatif
Teknik ini adalah teknik yang paling dapat mengatasi
kekurangan dalam objektivitas, namun hasilnya sering kurang mantap. Ciri - ciri
yang dapat di ukur dinyatakan sebagai tanda merupakan titik tolak penelitian
ini.
Menurut
Van Zoest, (1993:146-147), hasil analisis kuantitatif selalu lebih spektakuler
namun sekaligus selalu mengorbankan ketahanan uji metode - metode yang
digunakan.
2.
Teknik
kualitatif
Pada analisis kualitatif, data – data yang diteliti tidak
dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering menyerang masalah yang
berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.
Tiga
pendekatan untuk menjelaskan media (McNair, 1994, dalam Sudibyo, 2001:2-4),
yaitu :
1. Pendekatan Politik-Ekonomi
Pendekatan
ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan - kekuatan
ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.
2. Pendekatan Organisasi
Bertolak
belakang dengan pendekatan politik-ekonomi, pendekatan ini menekankan bahwa isi
media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan -kekuatan eksternal pengelola
media.
3. Pendekatan Kulturalis
Pendekatan
politik-ekonomi dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat
sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media. Media pada
dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan
oragnisasi, tapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut
tidak dapat dilepaskan dari kekuatan - kekuatan politik-ekonomi di luar media.
Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan
informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Namun, pada praktiknya apa
yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh jalinan banyak
kepentingan.
Terdapat pemilahan atas fakta atau informasi yang
dianggap penting dan yang dianggap tidak penting, serta yang dianggap penting
namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebar luaskan. Media
menyunting bahkan menggunting realitas dan kemudian memolesnya menjadi suatu
kemasan yang layak disebar luaskan.
Tiga
zona dalam teori media menurut Berger dan Luckman :
1.
Orders
and practices of signification (Tatanan dan praktik – praktik signifikasi).
2.
Orders
and practises of power (Tatanan dan praktik – praktik kekuasaan).
3.
Orders
and practises of production (Tatanan dan praktik – praktik produksi).
Praktik
– praktik kekuasaan media memiliki banyak bentuk ( John B. Thomson, 1994)
antara lain:
·
Kekuasaan
Ekonomi (dilembagakan dalam industri dan perdagangan).
·
Kekuasaan
Politik (dilembagakan dalam aparatur negara).
·
Kekuasaan
Koersif (dilembagakan dalam organisasi militer dan paramiliter).
B. PERIKLANAN
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem
tanda dalam iklan, yang terdiri atas 2 lambang yakni lambang verbal (bahasa)
dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).
Dalam menganalisis iklan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain (Berger) :
·
Penanda
dan petanda
·
Gambar,
indeks, simbol
·
Fenomena
sosiologi
·
Sifat
daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
·
Desain
dari iklan
·
Publikasi
yang ditemukan dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh publikasi
tersebut.
Lain halnya dengan model Roland Barthes, iklan dianalisis
berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu :
·
Pesan
Linguistik (Semua kata dan kalimat dalam iklan).
·
Pesan
yang terkodekan (Konotasi yang muncul dalam foto iklan).
·
Pesan
ikonik yang tak terkodekan (Denotasi dalam foto iklan).
C. TANDA NONVERBAL
Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata -
kata dan bahasa.
Tanda
- tanda digolongkan dalam berbagai cara :
·
Tanda
yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya.
·
Tanda
yang ditimbulkan oleh binatang
·
Tanda
yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal.
Namun tidak keseluruhan tanda - tanda nonverbal memiliki
makna yang universal. Hal ini dikarenakan tanda - tanda nonverbal memiliki arti
yang berbeda bagi setiap budaya yang lain.
Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal,
yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang
berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera
manusia.
Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada
tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada
benda - benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal. Dalam pencarian makna
tersebut, menurut Budianto, ada beberapa hal atau beberapa langkah yang perlu
diperhatikan peneliti, antara lain :
·
Langkah
Pertama ->Melakukan survei lapangan untuk mencari dan menemukan objek
penelitian yang sesuai dengan keinginan si peneliti.
·
Langkah
Kedua -> Melakukan pertimbangan terminologis terhadap konsep -konsep pada
tanda nonverbal.
·
Langkah
Ketiga ->Memperhatikan perilaku nonverbal, tanda dan komunikasi terhadap
objek yang ditelitinya.
·
Langkah
Keempat ->Merupakan langkah terpenting, menentukan model semiotika yang
dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Tujuan digunakannya model tertentu
adalah pembenaran secara metodologis agar keabsahan atau objektivitas
penelitian tersebut dapat terjaga.
D. FILM
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi
analisis struktural atau semiotika.
Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata –
mata. Pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang
menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi
realitas yang dinotasikannya.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling
penting dalam film adalah gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya dengan
cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan
pertunjukannya dengan proyektor dan layar.
Sardar & Loon, Film dan televisi memiliki bahasanya
sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa
melibatkan bentuk – bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan
yang sedang disampaikan.
Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi
hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences
Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki
hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui
hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang
lebih beralasan dan tidak pernah semena.
E. KOMIK, KARTUN DAN KARIKATUR
Sebelum
memasuki pembahasan, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan
komik, kartun, serta karikatur.
Komik
adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku yang
pada umumnya mudah dicerna dan lucu. Komik sendiri dikelompokkan menjadi dua
jenis yaitu, comic strips dan comic book. Komik bertujuan utama menghibur
pembaca dengan bacaan ringan, cerita rekaan yang dilukiskan relatif panjang dan
tidak selamanya mengangkat masalah hangat meskipun menyampaikan moral tertentu.
Bahasa komik adalah bahasa gambar dan bahasa teks.
Kartun
adalah sebuah gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan
humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apapun. Pada dasarnya, kartun
mengungkapkan masalah sesaat secara ringkas namun tajam dan humoristis sehingga
tidak jarang membuat pembaca senyum sendirian.
Karikatur
adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya orang terkenal,
dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas lahiriyahnya untuk tujuan
mengejek (Sudarta,1987). Empat teknis yang harus diingat sebagai karikatur
adalah, harus informatif dan komunikatif, harus situasional dengan pengungkapan
yang hangat, cukup memuat kandungan humor, harus mempunyai gambar yang baik.
Semula karikatur hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada
perkembangannya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang
sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar – gambar lucu dan menarik
bahkan tidak jarang membuat orang yang dikritik justru tersenyum.
Tommy
Christomy, Secara formal proses semiosis yang paling
dominan dalam kartun adalah gabungan atau proposisi (visual dan verbal) yang dibentuk
oleh kombinasi tanda argumen indexical legisign.
Untuk
menganalisis kartun atau komik-kartun, seyogianya kita menempatkan diri sebagai
kritikus agar secara leluasa dapat melakukan penilaian dan memberi tafsiran
terhadap komik-kartun tersebut.
Setiawan,
Komik-kartun penuh dengan perlambangan – perlambangan
yang kaya akan makna. Selain dikaji sebagai teks, secara kontekstual juga
dilakukan yakni dengan menghubungkan karya seni tersebut dengan situasi yang
sedang menonjol di masyarakat. Dalam pandangan Setiawan hal ini di maksudkan
untuk menjaga signifikasi permasalahan dan sekaligus menghindari pembiasan
tafsiran.
F. SASTRA
Santosa. Dalam lapangan sastra, karya sastra
dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda.
Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tulis akan memiliki sifat kerungan.
Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat
tanda-menanda yang menyiratkan makna semiotika.
Aminudin. Wawasan semiotika dalam studi sastra
memiliki tiga asumsi :
·
Karya
sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan pengarang, wujud
sastra sebagai sistem tanda, dan pembaca.
·
Karya
sastra merupakan salah satu bentuk pengunaan sistem tanda (system of signs)
yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu.
·
Karya
sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan
dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Sasaran kajian sastra secara ilmiah bukan pada wujud
konkret wacananya, melainkan pada metadiscourse atau bentuk dan ciri kewacanaan
yang tidak teramati secara konkret
Junus Pradopo. Penelitian sastra
dengan pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan
strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotika karena
karya sastra merupakan struktur tanda – tanda yang bermakna. Tanpa
memperhatikan sistem tanda dan maknanya, serta konvensi tanda, struktur karya
sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.
Dalam penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan
semiotika, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari, yaitu berupa
tanda - tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Preminger. Studi semiotika sastra adalah usaha
untuk menganalisis sistem tanda – tanda. Oleh karena itu, peneliti harus
menentukan konvensi - konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai
makna.
G. MUSIK
Sistem tanda musik adalah oditif. Bagi semiotikus musik,
adanya tanda - tanda perantara, yakni, musik yang dicatat dalam partitur
orkestra, merupakan jalan keluar. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis
karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik semula
terutama terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotika tidak dapat hidup
hanya dengan mengandalkan sintaksis karena tidak ada semiotika tanpa semantik
juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik.
Aart van Zoest. Tiga kemungkinan dalam mencari
denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan :
·
Untuk
menganggap unsur - unsur struktur musik sebagai ikonis bagi gejala - gejala
neurofisiologis pendengar.
·
Untuk
menganggap gejala - gejala struktural dalam musik sebagai ikonis bagi gejala -
gejala struktural dunia penghayatan yang dikenal.
·
Untuk
mencari denotatum musik ke arah isi tanggapan dan perasaan yang dimunculkan
musik lewat indeksial.
Untuk menganalisis musik tentu juga diperlukan disiplin
lain, misalnya ethnomusicology dan antropologi. Dalam ethnomusicology, musik
dipelajari melalui aturan tertentu yang dihubungkan dengan bentuk kesenian
lainnya termasuk bahasa, agama, dan falsafah.
Sumber:
·
Sobur,
Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
·
(http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar dan saran Anda sangat berarti.. :)